Sabtu, 07 April 2012

Otak Ternyata Lebih Fleksibel dari Yang Diduga Ilmuan

Membuka pintu pengembangan alat prostetik berkendal pikiran untuk membantu orang dengan cedera tulang belakang, amputasi, dan cacat lainnya, para neurosaintis dari Universitas California Berkeley dan Champalimaud Center for the Unknown di Portugal menunjukkan kalau otak lebih fleksibel dan mudah terlatih daripada yang diduga sebelumnya. 

Studi terbaru mereka, diterbitkan 4 maret 2012 dalam jurnal Nature, menunjukkan kalau lewat proses yang disebut plastisitas, bagian dari otak dapat dilatih untuk melakukan sesuatu yang secara normal mereka tidak lakukan. Rangkaian otak yang sama digunakan dalam belajar keahlian motorik, seperti mengendarai motor atau mobil, dapat dipakai untuk tugas mental murni, walaupun tidak berhubungan sama sekali.  

Dalam decade terakhir, penyelidikan gelombang otak untuk mengendalikan benda luar tubuh telah bergerak ke relung trik dan parapsikologi dan menjadi bidang baru yaitu neuroprostetik. Studi baru ini memajukan karya para peneliti yang telah mempelajari rangkaian otak yang digunakan dalam gerakan alami untuk meniru mereka dan mengembangkan alat prostetik.  

“Apa yang kami harapkan adalah kalau pandangan baru kami mengenai rangkaian otak akan membawa pada sejumlah prosthesis yang sealami mungkin,” kata Jose Carmena, asisten professor teknik listrik, ilmu kognitif, dan neurosains UC Berkeley. “Mereka menyarankan kalau belajar untuk mengendalikan sebuah BMI (Brain-Machine Interface), yang tidak alamiah, mungkin terasa sepenuhnya alamiah bagi seseorang, karena pembelajaran ini menggunakan rangkaian built-in yang telah ada di otak untuk mengendalikan motorik alami.”  

Carmena dan peneliti Aaron Koralek, mahasiswa pasca sarjana UC Berkeley di lab Carmena, bekerjasama dengan studi ini adalah Rui Costa, peneliti studi dari Program Neurosains Champalimaud, dan juga Xin Jin, pasca doctoral dari lab Costa.  

Studi sebelumnya telah gagal menemukan peran gerakan fisik ketika belajar untuk menggunakan alat prostetik.  “Ini adalah kunci bagi orang yang tidak dapat bergerak,” kata Carmena, yang juga direktur Pusat Teknik Syaraf dan Prostesis Berkeley-UCSF. “Sebagian besar studi interface mesin-otak dilakukan pada hewan sehat dan dapat bergerak bebas. Apa yang studi kami tunjukkan adalah control neuroprostetik itu mungkin, bahkan bila gerakan fisik tidak terlibat.”  

Untuk mengklarifikasi isu ini, para ilmuan membuat percobaan cerdik dimana tikus hanya dapat melakukan tugas abstrak jika gerakan fisiknya tidak terlibat. Para peneliti menyelaraskan peran sel syaraf motorik target yang dibutuhkan untuk penggerakan kumis dengan tindakan yang dibutuhkan untuk memperoleh hadiah makanan.  

Tikus dipasang dengan sebuah interface otak-mesin yang mengubah gelombang otak menjadi nada dengar. Untuk mendapat hadiah makanan – air gula atau pellet – tikus harus memodulasi pola pikir mereka dengan rangkaian otak tertentu untuk mengangkat atau menurunkan sinyal nada.  

Umpan balik auditori diberikan pada tikus sehingga mereka belajar mengasosiasikan pola pikir tertentu dengan nada tertentu. Dalam periode hanya dua minggu, tikus ini cepat belajar untuk memperoleh pellet makanan, mereka harus menciptakan nada tinggi, dan untuk mendapatkan air gula, mereka harus menciptakan nada rendah.  

Bila kelompok sel syaraf dalam tugas ini digunakan untuk fungsi tipikal mereka – menggerakkan kumis – tidak aka nada perubahan nada dengar, dan tidak ada hadiah makanan.  

“Ini bukan sesuatu yang tidak alami bagi tikus,” kata Costa. “Ini memberi tahu kita kalau mungkin merekayasa sebuah prosthesis sedemikian hingga tidak harus meniru anatomi system motorik alami untuk bekerja.”  Studi ini juga dirancang sedemikian hingga menunjukkan perilaku minat, bukannya perilaku kebiasaan. Tikus mampu menganeka-ragamkan jumlah pellet atau air gula yang diterima berdasarkan tingkat kelaparan atau kehausan mereka sendiri.  

“Tikus ini sadar; mereka tahu kalau mengendalikan nada adalah yang memberikan mereka hadiah, jadi mereka mengendalikan seberapa banyak air gula atau pellet untuk diambil, kapan mengambilnya, dan bagaimana mengambilnya tanpa gerakan fisik,” kata Costa.  Para peneliti berharap temuan ini akan membawa pada generasi baru alat prostetik yang terasa alami.  

“Kita tidak ingin orang berpikir terlalu keras untuk menggerakkan tangan robot dengan otak mereka,” kata Carmena.  

Peneliti lain, John Long, mantan mahasiswa pasca sarjana UC Berkeley di Lembaga Neurosains Helen Wills dan anggota lab Carmena, juga ikut serta dalam studi ini.  

National Science Foundation, Multiscale Systems Research Center, Defense Advanced Research Projects Agency, National Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism, Marie Curie International, dan European Research Council membantu mendukung penelitian ini.  

Sumber berita:  
 University of California – Berkeley.  

Referensi jurnal:  
Aaron C. Koralek, Xin Jin, John D. Long II, Rui M. Costa & Jose M. Carmena. Corticostriatal plasticity is necessary for learning intentional neuroprosthetic skills. Nature, 2012 DOI: 10.1038/nature10845A

www.faktailmiah,com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar